Wakaf_fawaied.png

Bagi bangsa Indonesia, peran infrastruktur menjadi sangat strategis, terutama jalan. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan persebaran penduduk yang tidak merata (sekitar 78 persen tinggal di pulau Jawa dan Sumatera). Sementara itu, keberadaan infrastruktur merupakan faktor penentu kesejahteraan, khususnya masyarakat daerah. Kesejahteraan dimaksud diindikasikan oleh menurunnya angka kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dan berkurangnya kesenjangan antar wilayah.

Asian Development Bank (Kwon, 2011) dalam penelitiannya di Indonesia menyatakan bahwa infrastruktur jalan memiliki kontribusi non-linier terhadap angka kemiskinan. Yakni semakin besar pembangunan infrastruktur jalan, semakin besar kemampuannya dalam menurunkan angka kemiskinan. Sementara itu, dalam penelitiannya, Kwon (2011), menyatakan tingkat penurunan angka kemiskinan yang terjadi dari 1981 ke 1996 relatif berbeda di setiap provinsi. Temuan yang menarik dalam penelitian Kwon, membuktikan bahwa provinsi yang banyak mengucurkan dana untuk pembangunan sektor transportasi, mengalami pertumbuhan dengan cepat dan mengalami penurunan angka kemiskinan secara drastis.     Di lain sisi, secara deskriptif Mopanga (2010) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang negatif dengan ketimpangan pembangunan (Indeks Gini). Artinya secara vertikal pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi akan menurunkan tingkat ketimpangan pembangunan.

Sementara itu, Adithya Wardhana (2013), menganalisis dampak transfer Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Ketimpangan Pendapatan di seluruh provinsi Indonesia (2001 – 2010). Dari hasil berbagai percobaan pada estimasi ketimpangan pendapatan, pengaruh DAK infrastruktur merupakan variabel yang signifikan terhadap ketimpangan pembangunan. Namun hasil penelitian tersebut masih belum secara spesifik menarik hubungan antara pembangunan infrastruktur jalan dengan tingkat ketimpangan. Untuk itu menarik dilakukan penelitian lanjutan. Sebab, sulitnya akses dan rendahnya keterkaitan jaringan antar jalan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan pembengunan daerah (Darwin dkk, 2014). Melalui analisis pengaruh pembangunan infrastruktur jalan terhadap ketimpangan pembangunan, indikator ini yang nantinya akan dijelaskan lebih lanjut dalam analisis pembahasan.

Berdasarkan perhitungan indeks Williamson seperti terlihat pada gambar 1, dapat disimpulkan bahwa ketimpangan pembangunan antarprovinsi di Indonesia mengalami penurunan pada setiap tahun. Yaitu dimulai dari 0.729516 (2010) turun menjadi 0.607914 (2015). Meskipun mengalami penurunan pada setiap tahun (2010-2015), tingkat ketimpangan pembangunan di Indonesia masih menunjukkan angka yang sangat tinggi. Jika dibandingkan pada saat masa krisis tahun 1998, tingkat ketimpangan pembangunan di Indonesia pada tahun 2012 lebih tinggi 0.012594, yaitu 0.66230. Dimana pada saat itu masih belum diberlakukan kebijakan otonomi daerah, dan baru dilaksanakan pada tahun 1999. Hal ini mencerminkan bahwa hingga saat ini proses pembangunan ekonomi di Indonesia masih terpusat di wilayah tertentu yang mengakibatkan kesenjangan semakin melebar.


Gambar 1,
Estimasi Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia

wakaf4.png

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah penulis (2017)

 

Kesenjangan pembangunan yang semakin melebar disebabkan adanya nilai PDRB di beberapa provinsi yang jauh lebih besar dari rata-rata PDB perkapita nasional. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gap PDRB tertinggi dan terendah antar provinsi tahun 2015. Nilai PDRB tertinggi adalah provinsi DKI Jakarta (Rp 142.868.580), Kalimantan Timur (Rp 128.322.890), dan Kepulauan Riau (Rp 78.643.010). Sedangkan nilai PDRB terendah adalah provinsi Nusa Tenggara Timur (Rp 11.097.460), dan Maluku (Rp 14.730.890). Bahkan nilai PDRB DKI Jakarta hampir 20 kali lipat dari PDRB Maluku.

Perbedaan nilai PDRB tersebut disebabkan karena setiap wilayah memiliki potensi dan struktur ekonomi yang berbeda. Tingginya PDRB di Kepulauan Riau disebabkan adanya kota Batam yang merupakan pusat kegiatan industri dan perdagangan internasional, sedangkan Kalimantan Timur disebabkan memiliki sumber daya alam yang berlimpah meliputi minyak dan gas bumi, bahan tambang, dan sumberdaya hutan, sementara DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan sektor industri, jasa, dan perdagangan (Bappenas, 2011). Sebaliknya beberapa provinsi dengan PDRB sangat rendah dikarenakan minim sarana perhubungan. Oleh karena itu diperlukan pembangunan sarana perhubungan guna meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam di setiap wilayah.

Selama ini kebijakan fiskal yang digunakan oleh pemerintah pusat berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 dengan cara memberikan dana perimbangan kepada daerah untuk menyeimbangkan keuangan daerah. DAU dan DAK merupakan salah instrumen fiskal untuk menurunkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Transfer yang dilakukan pemerintah pusat ke daerah melalui Dana Perimbangan yang di dalamnya terdapat Dana Alokasi Khusus Infrastruktur merupakan salah satu langkah dalam mengurangi ketimpangan di Indonesia, seperti hasil regresi  pada tabel 1 berikut,

Tabel 1 Hasil Estimasi Pengaruh Infrastruktur Jalan Terhadap Ketimpangan

wakaf3tabel.png

 

 

Dari hasil estimasi pada Tabel 1, terlihat nilai koefisien determinasi (R-squared) sebesar 0.7828, dimana infrastruktur jalan mampu menjelaskan 78.28% sebagai faktor penyebab ketimpangan dan sisanya dijelaskan diluar model. Sedangkan uji T terlihat dari P-(value) T sebesar 0.046 < level signifikan sebesar 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen mempengaruhi signifikan terhadap ketimpangan pembangunan. Dengan kata lain peningkatan sebesar satu satuan pembangunan infrastruktur jalan, maka akan menurunkan tingkat ketimpangan sebesar 0,2019224 satuan.

Namun perlu diketahui bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia dewasa ini masih relatif lambat bila dibandingkan dengan era 1990-an, yang sempat mencapai 9,2 persen (1995) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dewasa ini rasio tersebut masih relatif terbatas yakni sekitar 4,71 persen (2013), jauh dibandingkan dengan rasio pada masa sebelum krisis (rata-rata 7,12 persen terhadap PDB, periode 1994-1998).

Dampak lebih jauh dari keterlambatan pembangunan infrastrukur telah menghambat pembangunan daerah. Menurut World Economic Forum (2013) dalam Darwin dkk, (2014), permasalahan infrastruktur (jalan), sangat mempengaruhi keputusan investor dalam menentukan lokasi pabrik mereka. Keraguan mereka berinvestasi dapat berakibat pada lapangan kerja yang terbuka. Hal ini menjadi penyebab tidak meratanya sebaran penduduk yang berujung pada pemusatan kegiatan ekonomi di pulau Jawa dan Sumatera. Mengingat infrastruktur jalan di Indonesia secara total panjangnya 501.969 km, sebagian besar (58%) berada di Jawa (24%) dan Sumatera (34%), sisanya tersebar di berbagai pulau (Tai Hui dkk, 2011).

Ditinjau dari kuantitas infrastruktur, idealnya, menurut Bank Dunia setidaknya sebuah negara harus berinvestasi minimal 5% dari total PDB untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastrukturnya. Dalam APBN 2016, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar 313,5 triliun rupiah sebagai pembiayaan infrastruktur. Jika dibandingkan dengan PDB 2015 sebesar 11.540,7 triliun rupiah atau hanya sekitar 2,7% dari total PDB. Ini berarti masih terdapat gap sebesar 263.5 triliun rupiah untuk memenuhi pembangunan infrastruktur ideal (Kurniagung dkk, 2016).

Sementara itu, ditinjau dari sumber pembiayaan, selisih kebutuhan dana pembangunan infrastruktur tersebut dapat dipenuhi melalui beberapa cara. Selain melalui pengeluaran pemerintah (Government Budget), pembiayaan infrastruktur juga dapat melalui partisipasi swasta dengan skema Public-Private Partnership (PPP), dan utang. Menurut penelitian Standard Chartered (2011) di Indonesia, dengan semakin terbatasnya sumber dana yang dapat dimobilisasi oleh pemerintah, strategi pembiayaan pembangunan infrastruktur akan menyertakan peran swasta dengan skema Public-Private Partnership (PPP).

Namun satu hal yang perlu dicermati bahwa pola pembiayaan dengan skema PPP masih dalam tahap awal dan memerlukan sejumlah persiapan. Di 20 negara OECD, proporsi investasi infrastruktur dengan skema PPP masih relatif rendah, misalnya di Inggris (di bawah 10%), Kanada (di bawah 5%), atau Korea Selatan (di bawah 15%) (David Hall, 2012). Karenanya perlu dikaji ulang batasan kategorisasi tentang proyek-proyek strategis mana yang ditawarkan pada pembiayaan swasta, khususnya yang memiliki fungsi strategis bagi perekonomian dan eksternalitas yang signifikan bagi masyarakat. Mengingat karakter pihak swasta yang cenderung lebih berorientasi kepada bisnis-komersial.

Permasalahan pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia harus diatasi mengingat peran strategis infrastruktur dalam mewujudkan tujuan jangka panjang pembangunan nasional. Di lain sisi, apabila tidak dilakukan percepatan permbangunan infrastruktur, maka hal itu akan menghambat upaya pemerataan hasil pembangunan. Oleh karena itu, selain kedua pembiayaan tersebut, pemerintah dapat memanfaatkan dana wakaf tunai yang potensinya mencapai 81 triliun rupiah per tahun (Kurniagung, 2016). Hal ini tidak lepas dari status Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Selain anyaknya populasi dan tingginya pendapatan masyarakat muslim menjadikan Indonesia memiliki potensi dana wakaf cukup besar (lampiran).

Gambar 2 Sumber-sumber Pembiayaan Infrastruktur

wakaf2.png

Sumber: Basu Das & James (2013)


Selain sumber pembiayaan pemerintah, beberapa alternatif sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur dapat berasal dari beberapa sumber seperti pada Gambar 2. Namun berbagai sumber pembiayaan tersebut memiliki keterbatasan, baik berupa fleksibilitas penggunaan, jangka waktu pembiayaan, skala pembiayaan, tingkat bunga atau imbal hasil yang disyarakatkan. Munculnya alternatif Cash Waqf atau wakaf tunai menjadi solusi baru dalam pembiayaan infrastruktur di Indonesia. Dengan wakaf tunai, pembangunan infrastruktur tidak perlu memikirkan imbal hasil karena wakaf tunai bukan bersifat pinjaman. 
Dalam konsepnya, wakaf dianggap sebagai sumber aset yang memberi pemanfaatan sepanjang masa. Namun permasalahan yang berkembang kemudian adalah persoalan pengumpulan, pengelolaan, dan penyaluran dana wakaf tunai yang membutuhkan penanganan serius. Di Indonesia studi perwakafan masih sering berkutat pada segi hukum fikih (mu’amalah) yang jarang menyentuh pada manajemen perwakafan. Padahal, seharusnya wakaf bisa dijadikan sebagai sumber dana dan aset ekonomi yang senantiasa dapat dikelola secara produktif dan memberi hasil kepada masyarakat (Tim Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kemenag RI, 2007: 94).

Gambar 3 Pemanfaatan Wakaf Tunai Dalam Pembangunan Infastruktur Jalan

wakaf1.png

Sumber: ilustrasi penulis

 

Melalui Gambar 3 dapat menjadi referensi dalam memanfaatkan wakaf tunai dalam pembangunan infrastruktur daerah mulai dari pengumpulan hingga penyalurannya. Wakaf masyarakat dapat disetorkan melalui Badan Wakaf Indonesia yang berperan sebagai lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia (UU Nomor 41 Tahun 2004). Dalam pelaksanaannya, Badan Wakaf Indonesia dapat dibantu oleh Kementerian Agama untuk menghimpun wakaf. Setelah dana terhimpun dalam periode satu tahun. Dana wakaf tersebut dilaporkan dan disetorkan kepada Kementerian Keuangan guna dimasukkan kepada kas negara. Dalam perannya, Kementerian Keuangan menganggarkan dana wakaf tersebut untuk pembangunan infrastruktur jalan di daerah dengan Direktorat Jenderal Perimbangan. Setelah dilakukan alokasi, maka dana wakaf tersebut disalurkan kepada daerah melalui skema DAK. Berbeda dengan utang, dana wakaf merupakan dana murah sehingga tidak harus menawarkan imbal hasil yang menarik untuk mendapatkannya. Selain itu wakaf tunai termasuk sebagai salah satu bentuk pemberian yang bertujuan sosial (pro-social spending). Keistimewaan lain dari penggunaan dana wakaf tunai dalam melakukan investasi pembangunan infrastruktur adalah hasil investasi harus digunakan untuk kemaslahatan umat atau aktivitas-aktivitas sosial. Diharapkan melalui pemanfaatan dana wakaf tersebut dapat meningkatan pembangunan infrastruktur jalan di daerah, berdasarkan hasil penilitian ini bahwa peningkatan pembangunan infrastruktur jalan menjadi determinan dalam menurunkan tingkat ketimpangan. Sehingga dapat tercapainya distribusi pendapatan yang merata di setiap wilayah guna kemaslahatan ekonomi umat.

 

Daftar Pustaka

Adithya Wardhana, dkk. 2013. Dampak Transfer Pemerintah Pusat Terhadap Penuruan Ketimpangan Pendapatan Indonesia. Bogor, Institut Pertanian Bogor.

Bappenas. 2012. Analisis Kesenjangan Antar Wilayah 2011. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Basu Dan & James. 2013. Adressing Infrastructure Financing in Asia. Singapore Institure of Southeast Asia.

Catur Sugiyanto & Bakti Sektiawan. 2007. Infrastruktur dan Pengurangan Kemiskinan.

Darwin Zahedi Saleh, dkk. 2014. Mozaik Permasalahan Infrastruktur Indonesia. Depok, Ruas.

David Hall. 2012. PPPs: Historical and Economic Myths. Publick Service International Research Unair. University of Greenwich.

Handayani S. 2008. Pelaksanaan Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Islam Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf di Kota Semarang. Diponegoro University.

Kurniagung, dkk. 2016. Potensi Wakaf Tunai Sebagai Opsi Pendanaan Infrastruktur dan Implikasinya Terhadap Makroekonomi Nasional. Universitas Indonesia

Hits 4206